PLTU Batu Bara Mempercepat Kepunahan Manusia

BANDUNG, RHIZOMA – Indonesia merupakan negara 10 besar penyumbang emisi di dunia dari 150 negara. Sebanyak 65 persennya berasal dari sektor energi yang didominasi oleh batu bara.
Persoalan emisi ini menjadi penting dan banyak dibahas. Bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) membahas khusus tentang emisi, karena pada akhirnya dapat mempercepat kepunahan manusia.
Hal ini disampaikan Yuyun Indradi, Direktur Eksekutif Trend Asia dalam diskusi “Jalur Cepat Pensiun PLTU Batu Bara, Menuju Emisi Nol Bersih” yang diselenggarakan Rhizoma Indonesia pada hari Rabu, (14/08/2024). Diskusi ini dihadiri oleh Ali Akbar (Kanopi Hijau Indonesia), Akbar Bagaskara (Institute for Essential Service Reform (IESR), Indira Suryani (LBH Padang), dan Meiki Paedong (Direktur Rhizoma).
“Ketika bumi sudah tidak layak lagi untuk dihuni, maka seleksi alam akan berjalan. Maka satu per satu dari kita mulai dari yang lemah akan terseleksi dan lama-lama akan punah,” kata Yuyun.
Yuyun mengungkapkan, saat ini acuan menjalankan bisnis penyediaan layanan listrik dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), salah satunya adalah bio energi. Daya tarik dari bio energi ini adalah menggunakan pelet kayu yang dibakar bersama batu bara atau yang disebut dengan co-firing.
Untuk memenuhi kebutuhan co-firing, lanjut Yuyun, dari 52 PLTU, 10 persennya membutuhkan 10 juta ton pelet kayu. Jumlah ini membutuhkan lahan sekali panen sebanyak dua juta hektar atau sekitar empat kali pulau Bali.
Upaya ini, kata Yuyun mampu menurunkan emisi sebesar 10 persen. Namun masalahnya dengan membakar kayu justru menghasilkan emisi baru di hulu.
“Padahal untuk menanam hutan butuh waktu 5-7 tahun. Tapi ini sudah dijalankan sedikit-sedikit di Jabar, Jatim, dan seterusnya,” terang Yuyun.
“Diskusi Publik : “Jalur Cepat Pensiun PLTU Batu Bara, Menuju Emosi Nol Bersih”
PLTU Membuat Harapan Hidup Rendah
Yuyun melihat, banyak PLTU tua memperpanjang usianya dengan mengganti spare part alias meremajakan mesin PLTU. Upaya ini dianggap dapat memperpanjang usia pensiun PLTU.
“Tapi ketika usia PLTU lebih panjang dari umur seharusnya, itu seperti memberikan harapan hidup lebih tinggi terhadap PLTU dibanding harapan hidup rakyatnya,” luruh Yuyun.
Untuk itu, Yuyun menegaskan, PLTU hanya memiliki dua pilihan. Pensiun dini sebelum umur mati atau pensiun natural sampai umur ekonomisnya habis.
“Saya sepakat, yang sudah tua dan layak mati ya matikan saja,” kata pria yang pernah menjadi Penasehat Politik Regional untuk Green Peace Asia Tenggara ini.
Derita Warga Sekitar PLTU
Kehadiran PLTU merupakan penderitaan bagi masyarakat sekitar. Seperti PLTU baru bara yang berada di kawasan Sawahlunto, Sumatera Barat atau yang dikenal dengan PLTU Ombilin. Sejak didirikan pada tahun 1996 telah membuat masyarakat resah.
“Setelah 5 tahun PLTU didirikan, warga sudah resah dan melaporkan tentang debu batu bara yang tercecer di jalanan, dan macetnya jalanan akibat truk yang mengangkut batu bara. Warga juga pada tahun 2011 sudah complain terhadap abu terbang dari cerobong asap. Tapi sampai sekarang tidak selesai,” kata Indira, Direktur LBH Padang.
Indira bercerita, bila ke Ombilin maka akan terlihat partikel-partikel yang terlihat pada jemuran baju, ventilasi rumah, dan sampai juga ke makanan. Limbah sisa pembangkaran PLTU batu bara ini atau yang dikenal dengan Fly Ash and Bottom Ash (FABA) ini telah mengakibatkan banyak warga mengalami flu yang tak sembuh-sembuh.
Tak hanya merusak dan mencemari udara, tanah dan air warga sekitar, menurut Indira, PLTU Ombilin juga pada waktu tertentu membuat kebisingan. Suaranya keras sekali. Bahkan suara berisik tersebut dapat berlangsung selama dua hari berturut-turut.
LBH Padang Menggugat
Tak ingin warga sekitar PLTU Ombilin terus menderita, LBH Padang pun menggugat PLTU Ombilin. Atas gugatan ini pada tahun 2018, KLHK menjatuhkan sanksi kepada PLTU Ombilin.
Diantara sanksi tersebut adalah perubahan izin lingkungan, memperbaiki cerobong emisi diesel emergency dan fire fighting, memiliki izin pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan pemanfaatan limbah B3 berupa fly ash dan bottom ash. Kemudian melakukan pengambilan sampel tanah untuk uji kesuburan, kualitas air tanah pada sumur uji dan melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup.
“Masalah itu belum selesai, pelanggaran kembali terjadi di tahun 2019. Mereka selalu bikin masalah, tapi kejahatannya dilanggengkan. Banyak hal yang tidak dipatuhi oleh Ombilin dan KLHK membiarkan itu,” terang Indira.
Sehingga LBH Padang menginginkan izin PLTU Ombilin dibekukan atau dicabut. Bagi mereka, hal tersebut untuk menyelamatkan nyawa masyarakat sekitar PLTU Ombilin.
“Apakah pemerintah harus membiarkan warganya mati dulu baru mencabut izin PLTU Ombilin?” Tegas Indira.
Kematian Mengancam
Akbar Bagaskara, dari IESR menambahkan, PLTU batu bara telah berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar yang berujung kepada kematian. Berdasarkan studi IESR Bersama CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air), kasus kematian akibat infeksi saluran pernapasan tertinggi ada di Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
“Berdasarkan kasus terlapor per provinsi yang tertinggi ada di Jawa Barat dan Banten. Selanjutnya baru Jawa Tengah dan Timur,” ungkap Akbar.
Waktunya Pensiunkan PLTU
Pemerintah sendiri menurut Akbar, telah berinsiatif mematikan atau memensiunkan PLTU. Kementerian ESDM telah membuat peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU dan melarang PLTU-PLTU baru untuk beroperasi. Namun masih ada kecualinya yaitu PLTU yang terkoneksi dengan pertumbuhan ekonomi nasional.
“Tapi PLTU-PLTU tersebut hanya boleh beroperasi sampai 2050,” terang Akbar.
Namun berdasarkan kajian IESR bersama University of Maryland pada tahun 2022, ada sebanyak 12 PLTU yang harus dipensiunkan. Sebanyak 12 PLTU tersebut dianggap memiliki score matriks yang rendah.
“Contoh, berdasarkan umur ada PLTU Suryalaya, Bukit Asam, dan Asam-Asam. Indikasi lain yang terlalu dekat dengan pemukiman, seperti di Cilacap, Sumberan dan PLTU Ombilin,” ungkap Akbar.
Menurut Akbar, agar bisa sejalan dengan Perjanjian Paris, paling tidak 12 PLTU tersebut sudah harus berhenti operasi setidaknya pada 2045. Sehingga PLTU yang masih memiliki score matriks tinggi bisa dipensiunkan pada akhir 2045.
“Mungkin penutupan ini kelihatan ekstrem dan terlalu cepat, tapi dampaknya kalau ditunda-tunda penurunan yang akan kita kejar itu makin curam dan biaya akan makin mahal,” ulas Akbar.[]